
@JAKCRZ
“Jakmania, Waspadalah! Ancaman dari Vikings Bobotoh Persib dan Riak Sejarah yang Mengkhianati Jakarta”.
Persatuan di Atas Kertas: Waspada, Jakmania! Ancaman dari Vikings Bobotoh Persib Menanti! Jakarta, kota yang kita cintai, adalah cerminan dari kekayaan sejarah, keragaman budaya, dan semangat perjuangan.

Warga Jakarta, masyarakat inti yang egaliter, nasionalis, dan religius, selalu siap menerima siapa saja yang datang dengan niat baik.
Namun, dalam keseharian kita, di tengah hiruk-pikuk politik yang semakin tak menentu, kita harus tetap waspada.
DISCLAIMER dari pihak penulis! Artikel ini Bukanlah sebuah ujaran kebencian, melainkan peringatan—peringatan atas nihilisme dan ketidakjelasan politik yang semakin mengaburkan identitas kita sebagai warga Jakarta.
Di dalam labirin kompromi politik, ada hiperrealitas yang telah diciptakan—narasi semu tentang persatuan yang mereduksi martabat kita, tentang kemajuan yang melupakan akar sejarah kita.
Kita, warga Jakarta, adalah mereka yang cinta NKRI.
Namun, ketika bicara tentang jati diri, kita harus tegas: gua Jakmania! Bukan aing Jakmania!
Jakmania bukan sekadar sekelompok suporter sepak bola, melainkan simbol dari semangat, kebanggaan, dan identitas kita sebagai warga Jakarta. Saat pilihan politik menyeret kita ke arah yang berlawanan dengan prinsip-prinsip dasar kita, kita harus ingat bahwa ini bukan sekadar soal memilih pemimpin, tetapi soal mempertahankan siapa kita sebenarnya. Apabila kita memilih seorang pendukung Bobotoh Persib Bandung sebagai gubernur kita, kita harus siap menghadapi refleks-refleks psikologis yang mungkin tidak kita sadari.

Mereka yang mendukung lawan abadi kita, Vikings Bobotoh, tidak bisa dipisahkan dari akar dukungan mereka, betapapun mereka mencoba untuk bersikap netral. Ini bukan soal membenci, tapi soal mempertahankan martabat kita. Jangan sampai kita terjebak dalam narasi persatuan yang semu, yang sebenarnya adalah bentuk dari kompromi politik praktis yang mengorbankan jati diri kita. Jakarta adalah tanah Betawi. Kota yang egaliter, ramah, religius, nasionalis, namun bukan kota yang mudah dibodohi.

Apa gunanya membangun kemajuan di masa depan jika kita melupakan akar sejarah kita? Apa gunanya kemakmuran jika kita melupakan asal usul kita? Sejarah mencatat bahwa kita adalah pejuang kemanusiaan dan peradaban sejati.
Tidak akan ada Indonesia tanpa Jakarta. So, GUA JAKMANIA! bukan aing Jakmania! Jangan biarkan narasi-narasi politik yang kosong membuat kita lupa siapa kita sebenarnya.

Gua Jakmania! Bukan aing Jakmania! Dan jangan sampai kita terjebak dalam psikologi terbalik yang diciptakan oleh para politikus haus kekuasaan yang rela mengorbankan jati diri dan martabat kita. Jakarta harus tetap menjadi Jakarta, dengan kebanggaan dan identitasnya yang tak tergoyahkan.
Sebagai warga Jakarta dan pecinta sepak bola yang telah lama menjadi bagian dari Jakmania, saya merasa kecewa, marah, dan bingung dengan pencalonan Ridwan Kamil sebagai calon gubernur Jakarta. Bagaimana mungkin seseorang yang tidak memiliki akar sejarah dan kultural di Jakarta, yang bahkan secara terang-terangan mendukung Persib Bandung—rival abadi Persija Jakarta—bisa dianggap pantas memimpin kota ini? Jakarta dari semenjak menjadi ibu kota negara, Jakarta adalah rumah kita, tempat kita tumbuh, tempat kita merasakan cinta dan kebanggaan, terutama dalam mendukung Macan Kemayoran—Persija.

Bagi kita, Jakmania, sepak bola adalah lebih dari sekadar permainan.
Ini adalah warisan, identitas, dan harga diri kita. Ketika kita bicara tentang rivalitas, kita bicara tentang sejarah panjang yang telah mengakar antara Persija dan Persib. Dan Ridwan Kamil, dengan segala hormat, adalah simbol dari sisi lawan—seorang suporter setia Persib yang jelas tidak bisa memahami dan merasakan apa yang kita, Jakmania, rasakan. Pada tahun 2012, salah satu dari kita—seorang Jakmania—harus kehilangan nyawa di tangan kelompok pendukung Persib.
Tragedi ini bukanlah hal yang bisa dihapus begitu saja dari ingatan kita. Ini adalah luka yang dalam, yang membekas di hati kita semua. Dan apa yang dilakukan Ridwan Kamil saat itu? Bukannya menunjukkan empati atau penghormatan kepada keluarga korban, ia justru berdiri kokoh di sisi mereka yang pernah melukai kita. Bagaimana mungkin kita menerima dia sebagai pemimpin di kota ini? Jakarta memerlukan pemimpin yang mengerti akar budaya dan sejarah kota ini. Jakarta memerlukan pemimpin yang benar-benar memahami apa artinya menjadi warga Jakarta, bukan hanya sekadar menumpang popularitas dan mencari kekuasaan. Ridwan Kamil mungkin telah melakukan banyak hal baik di Bandung, tapi Jakarta bukan Bandung. Gua Jakmania, bukan aing Jakmania! Saya menolak pemimpin yang tidak memiliki akar di Jakarta, yang tidak merasakan apa yang kita rasakan, dan yang bahkan telah menunjukkan dukungan kepada mereka yang berdiri di sisi lawan kita.
Ini bukan hanya soal sepak bola. Ini soal mempertahankan martabat dan kehormatan kita sebagai warga Jakarta, sebagai Jakmania. Kita harus berdiri teguh menolak pencalonan ini, memastikan bahwa Jakarta tetap berada di tangan mereka yang benar-benar memahami dan mencintai kota ini. Jangan biarkan mereka yang tidak memiliki akar di Jakarta mengambil alih masa depan kita. Ingatlah, gua Jakmania, bukan aing Jakmania!
Sebagai Jakmania, kita hidup dengan kebanggaan dan semangat yang tak tertandingi. Namun, ada ancaman nyata yang mengintai dari arah barat.
Ancaman yang bukan hanya berasal dari rivalitas di lapangan, tapi juga dari sejarah panjang kekerasan yang mengorbankan nyawa saudara kita. Kita tahu bahwa persatuan adalah kekuatan NKRI, tapi ketika berbicara tentang sepak bola, tentang adat, tentang sejarah, gua Jakmania! Bukan aing Jakmania! Vikings Bobotoh, kelompok pendukung Persib Bandung yang terkenal dengan militansinya, telah lama menjadi momok bagi Persija dan Jakmania. Mereka bukan sekadar suporter; mereka adalah ancaman yang membawa riwayat kelam kekerasan. Salah satu tragedi yang masih membekas di hati kita adalah ketika salah satu saudara kita, pendukung Macan Kemayoran, dikeroyok hingga tewas saat sedang duduk sendirian di Bandung pada tahun 2012. Tragedi ini bukan sekadar statistik; ini adalah luka yang dalam di hati kita semua. Namun, yang lebih menyakitkan adalah bagaimana sosok seperti Ridwan Kamil, yang kini mencoba menggapai panggung politik nasional, pernah secara terbuka mendukung Vikings Bobotoh.
Sebagai Wali Kota Bandung saat itu, ia dengan bangganya menunjukkan solidaritasnya kepada kelompok yang pernah merenggut nyawa saudara kita. Apakah beliau pernah bertakzim ke keluarga korban? Jawabannya jelas: tidak. Bahkan dalam diamnya, beliau menunjukkan bahwa Jakarta bukanlah prioritasnya, dan bahwa Jakmania tidak lebih dari sekadar penonton dalam permainan kekuasaan yang lebih besar.
Data dan statistik menunjukkan betapa berbahayanya rivalitas ini jika tidak dikelola dengan bijak. Sejak 2012, tercatat setidaknya ada 13 insiden besar yang melibatkan bentrokan antara Jakmania dan Vikings, dengan lebih dari 30 korban luka-luka dan beberapa korban jiwa. Di tahun 2023, ketegangan kembali meningkat, dengan beberapa insiden kekerasan terjadi di luar stadion. Ini adalah ancaman nyata bagi keamanan dan keselamatan warga Jakarta, dan kita tidak boleh menganggapnya enteng. Sebagai warga Jakarta, kita harus menyadari bahwa meski persatuan NKRI adalah fondasi kita, saat bicara tentang sepak bola dan sejarah, kita harus berdiri teguh sebagai Jakmania.

Kita harus menolak mereka yang mencoba meraih kekuasaan dengan mengabaikan akar sejarah kita, dengan mendukung mereka yang pernah menodai nama Jakarta dan Jakmania. Ini adalah peringatan bagi kita semua. Kita harus waspada, kita harus bersatu, dan kita harus memastikan bahwa Jakarta tetap menjadi rumah kita yang aman dan terhormat. Jakmania bukan hanya tentang dukungan di lapangan, tapi juga tentang menjaga kehormatan dan martabat kita di setiap langkah.
Ingatlah, gua Jakmania! Bukan aing Jakmania! Mari kita jaga Jakarta dengan segala kekuatan yang kita miliki, dan jangan biarkan siapa pun, termasuk mereka yang tidak memiliki akar di tanah kita, mengubah sejarah kita.
Di tulis dan di sunting oleh bang David, aktivis budaya kota dan pemerhati olah raga, fans berat PERSIJA dan bagian kultural dari JAKMANIA. (FOTO di bawah sebelah kanan Bambang Pamungkas (c) 2018).
