
Reporter Investigasi (R): Bang David, ramai diperbincangkan bahwa kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dianggap mengancam budaya hburan di Jakarta. Bagaimana pandangan Bang David sebagai Ketua Umum Ormas Betawi Bangkit?
Bang David (BD): Justru sebaliknya, KTR bukan ancaman, tapi investasi jangka panjang. Bagi saya, kesehatan itu bukan sekadar urusan medis—ini soal budaya, ekonomi, dan keberlanjutan generasi muda. Kalau anak-anak Betawi dan Jakarta tumbuh sehat, mereka bisa jadi pemimpin, pekerja produktif, dan penjaga identitas kita. Kalau sejak muda mereka dicekoki rokok, itu sama saja kita sedang menggadaikan masa depan kota ini.
R: Banyak yang bilang merokok sudah jadi bagian dari budaya kota, termasuk di Betawi. Apakah itu benar?
BD: Itu keliru. Dalam sejarah Betawi asli, tidak ada budaya merokok. Rokok masuk lewat industrialisasi dan iklan besar-besaran. Kalau ada yang bilang rokok itu budaya, itu sama saja kita bilang candu itu tradisi. Padahal nikotin jelas-jelas adiktif, sama bahayanya dengan heroin, kata WHO. Budaya Betawi itu warung kopi, silaturahmi, pantun, dan marawis. Bukan rokok.
Kota besar dunia seperti Tokyo, Paris, atau Seoul bisa tetap hidup dan berbudaya meski ada aturan tanpa rokok. Jakarta juga bisa—asal kita berani memilih budaya sehat.
R: Kalau kita bicara data kesehatan, seberapa serius dampak rokok terhadap masyarakat Jakarta?
BD: Sangat serius. WHO catat 8 juta orang meninggal tiap tahun karena tembakau, 1 juta di antaranya perokok pasif. Di Indonesia, 225 ribu orang meninggal setiap tahun karena rokok. Itu bukan angka main-main.
Yang bikin hati saya paling pedih: anak-anak jadi korban. Mereka kena pneumonia, bronkitis, bahkan stunting karena asap rokok. BPJS sampai keluar Rp6,5 triliun setahun hanya untuk biaya penyakit jantung. Jadi siapa yang sebenarnya bikin rugi? Rokok, bukan aturan tanpa rokok.
R: Dari sisi ekonomi, ada klaim bahwa KTR bisa bikin lapangan kerja berkurang dan usaha hiburan rugi. Apa jawaban Bang David?
BD: Itu mitos. Justru rokok yang membunuh angkatan kerja produktif. Kalau pekerja sakit, siapa yang rugi? Perusahaan juga.
Soal wisata, kota-kota maju yang punya KTR justru makin menarik turis karena udara lebih bersih. Hiburan tetap jalan, bahkan lebih sehat.
Kebijakan ini juga fleksibel, ada ruang khusus merokok dengan ventilasi standar WHO. Jadi pelaku usaha tetap bisa jalan. Pajak rokok bisa dipakai buat bantu pekerja hiburan beradaptasi. Intinya: ini bukan larangan total, tapi pengaturan supaya semua lebih sehat.
R: Bagaimana sisi hukum dan regulasi dalam kebijakan KTR ini?
BD: Jelas ada landasan hukumnya. UU Kesehatan, PP terbaru, sampai UUD 1945 Pasal 28H: setiap warga berhak atas lingkungan hidup yang sehat.
Kalau ada denda buat perokok atau promosi rokok, itu bukan kriminalisasi. Itu efek jera. Jangan sampai anak-anak kita lihat iklan rokok besar-besaran, lalu berpikir itu keren. Padahal itu jalan pintas ke sakit.
R: Kalau begitu, apa rekomendasi nyata dari Bang David agar kebijakan ini bisa jalan dengan adil?
BD: Pertama, edukasi harus masif. Jangan hanya aturan, tapi kasih tahu kenapa ini penting. Kedua, sediakan ruang merokok yang sesuai standar—jadi tidak asal larang. Ketiga, berikan insentif ekonomi untuk tempat hiburan yang patuh KTR.
Dan yang paling penting: libatkan semua pihak—pemuda, pelaku usaha, ahli kesehatan, dan ormas. Jangan top-down. Harus gotong royong, karena ini budaya kita.

R: Terakhir, Bang David, apa pesan inspiratif Anda untuk warga Jakarta soal KTR?
BD: Jakarta itu bukan cuma gedung tinggi dan jalan tol. Jakarta adalah warisan leluhur, budaya Betawi, dan rumah anak-anak kita. Kalau kita biarkan asap rokok merusak paru-paru mereka, apa arti pembangunan?
Saya ingin lihat Jakarta 2045—Jakarta Emas—di mana udara bersih jadi warisan. Di mana anak-anak main sepak bola tanpa batuk karena asap rokok. Di mana Betawi berdiri tegak sebagai tuan rumah kota global, dengan budaya sehat dan bermartabat.
KTR bukan perang melawan orang, tapi perjuangan menjaga kehidupan. Dan itu, bagi saya, adalah jihad kebudayaan.
Catatan Redaksi:
Wawancara dengan Bang David ini membuka mata bahwa isu KTR bukan sekadar aturan pemerintah, tetapi bagian dari perjuangan budaya, ekonomi, dan kesehatan. Betawi Bangkit bukan hanya jargon, melainkan ajakan nyata: menjaga generasi, melindungi warisan, dan menyongsong Jakarta Emas 2045.