
Oleh: Seorang Financier yang Mempelajari Kesalahan dan Peluang
Paradoks Indonesia: Memanfaatkan Sumber Daya Tak Terbatas untuk Pemikiran yang Terbatas – Cetak Biru untuk Pertumbuhan 10%
Sebagai seorang Pelaku Pasar, Pengamat dan Peneliti sekaligus dan murid dari banyak Guru-Guru Besar dalam Ilmu Ekonomi dan Finansial, saya menerjemahkan judul tersebut dengan pendekatan yang akademis dan visioner.
Untuk Penjelasan awal Judul: “Paradoks Indonesia: Memanfaatkan Sumber Daya yang Melimpah Tak Terhingga untuk Pola Pikir yang Terbatas – Sebuah Rancangan Strategis untuk Mencapai Pertumbuhan Ekonomi 10%“.
Penjelasan Kontekstual sebagai Pemerhati Ekonomi:
Istilah “Paradoks” di sini merujuk pada kontradiksi mendalam antara potensi ekonomi Indonesia yang nyaris tak terbatas (Infinite Resources)—seperti sumber daya alam, demografi muda, dan posisi geostrategis—dengan mentalitas dan perencanaan kebijakan (Finite Thinking) yang masih bersifat jangka pendek, reaktif, dan tidak optimal dalam memanfaatkan potensi tersebut.
“Memanfaatkan dalam arti kata dalam bahasa inggris layaknya Leveraging” tidak hanya berarti “memanfaatkan”, tetapi lebih pada upaya strategis untuk mengoptimalkan dan mengolah setiap sumber daya dengan multiplier effect yang tinggi.
“Blueprint” diterjemahkan sebagai “Rancangan Strategis” atau “Cetak Biru“, yang dalam konteks kebijakan ekonomi berarti sebuah dokumen perencanaan komprehensif, terstruktur, dan berbasis evidence-based untuk mencapai target ambisius namun terukur, yaitu pertumbuhan ekonomi sebesar 10%—sebuah angka yang, meskipun sangat tinggi, dimungkinkan dengan transformasi struktural dan lompatan pemikiran.
Kala saya masih ingat betapa kejinya seorang “George SOROS” yang secara langsung atau tidak pada tahun 1997-98, “Hewan Finansial” tersebut melihat Indonesia bukan sebagai sebuah nation, tetapi sebagai sebuah posisi trading yang lemah dalam sebuah sistem moneter global yang rapuh. “Hewan buas itu, monster tersebut” mengeksploitasi kelemahan struktural yang kita punya sebagai “Negara”. Itu adalah salah satu kesalahan perspektif kita yang kolosal saat itu dan masih juga untuk saat ini, “Percaya saya!” (Trust me! ini hanya sebuah ujaran di level seorang manusia biasa untuk melihat secara terang benderang kekayaan negeri kita, pastinya kita semua lebih percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa ketimbang kepada seorang David Darmawan penulis artikel ini?! 🙂 izinkan saya untuk sedikit bergurau di sini, semoga Yang Maha Kuasa memaafkan gurauan saya, Amin. Kekayaan Indonesia bukan pada kurs devisanya yang kaku saat itu, sekarang dan masa depan! tetapi pada tanahnya yang kaya. Kini, hampir tiga dekade kemudian, saya melihat pemerintahan kita mengulangi kesalahan fundamental serupa: mengobati ekonomi dengan plester keuangan, bukan dengan membangun pilar produktivitas yang sesungguhnya.
Kebijakan Rp200 Triliun Pak Purbaya itu adalah sebuah symptom dari penyakit ini. Itu adalah “financial engineering” yang miskin imajinasi dan kaya akan distorsi. Meminjam uang rakyat (via APBN) untuk disimpan di bank dengan harapan bank akan menyalurkannya, adalah seperti membawa air ke lautan. Perbankan nasional sudah overliquid! LDR 85% membuktikan mereka tidak kekurangan air, mereka kekurangan taman yang layak untuk disirami.
Analisis Kegagalan Skema Sekarang (The Bailout Simulation):
Mari kita simulasi skema Pak Purbaya dengan statistik nyata:
1. Input Negara: Rp 200 T dengan biaya oportunitas ~4% (mungkin dari penerbitan SBN dengan bunga 6-7%?).
2. Output Bank: Bank menerima dana dengan bunga 4%. Karena NIM bank adalah 4-5%, untuk menjaga profitabilitas, mereka HARUS menyalurkan kredit dengan spread minimal 4%. Simulasi Bunga Kredit: Biaya Dana + NIM + Risk Premium = 4% + 4.5% + (2-3%) = 10.5% – 11.5%.
3. Result: Kredit hanya terjangkau untuk korporasi besar (konglomerat) dengan rating kredit baik. UMKM terlempar dari sistem.
4. Statistik Kerugian:
· Potensi Kerugian APBN: Jika dana tidak tersalurkan, negara masih harus bayar bunga 4% = Rp 8 Triliun/tahun untuk sesuatu yang idle.
· Multiplier Effect Minim: Kredit ke konglomerat memiliki multiplier effect yang rendah untuk penciptaan lapangan kerja baru dibandingkan ke UMKM.
· Kesempatan yang Hilang (Opportunity Cost): Rp 200 T ini tidak dipakai untuk hal yang lebih produktif. Ini adalah punch in the air.
Dengan melihat apa yang terjadi hampir tiga dekade yang lalu! yang si “hewan buas monster yang bernama SOROS telah lakukan kepada kita di “INDONESIA” kita harus lwan kondisi saat ini dengan “Anti-Virus atau anti-corps” yang berasal dari si “hewan penyakitan” itu sendiri atau kalau boleh kita sebut : The Soros Prescription! Resep dari si “Penyakit” itu sendiri! (antidotnya bisa kita dapatkan dari penyakit atau racun itu sendiri!)
Tentu. Sebagai penulis artikel ini, saya akan menerjemahkan dan menguraikan makna konseptualnya dengan gaya yang akademis juga lebih visioner dan konsep ini bisa segera di implementasikan sekarang juga!
Izinkan, saya akan memberikan terjemahan yang konseptual dan analisis mendalam, sekaligus mengakomodasi untuk nama sebutan baru ketimbang “Resep Soros” mending kita namain klo kata anak betawi atau yang paham urusan di Jakarta : “Betawi punye Gaye!” saya akan menjelaskan makna ekonomi di balik analogi “Betawi punye Gaye” tersebut.
Terjemahan Akademis:
Resep Soros: Dana Kekayaan Negara Berkolateral Sumber Daya untuk Kesejahteraan Rakyat
Penjelasan Kontekstual:
Judul ini merangkum sebuah paradigma keuangan negara yang revolusioner. “Resep” di sini adalah solusi struktural dari George Soros, seorang pemikir pasar keuangan yang profund, untuk memecah masalah klasik ekonomi berbasis sumber daya alam (SDA).
- “Dana Kekayaan Negara Berkolateral Sumber Daya” adalah instrumen keuangan strategis dimana negara menerbitkan surat berharga (misalnya, sovereign bond) yang dijamin (backed) oleh aliran pendapatan SDA di masa depan. Dana yang dihimpun dari penerbitan ini tidak dibelanjakan secara konsumtif, melainkan dikelola secara profesional dalam sebuah portofolio investasi global (Sovereign Wealth Fund/SWF) untuk menghasilkan imbal hasil (return) yang optimal.
- “Untuk Kesejahteraan Rakyat” menekankan mandat inklusif dana ini. Return dari SWF tersebut harus menjadi sumber pendapatan permanen (perpetual endowment) yang dialirkan untuk pembiayaan kesehatan, pendidikan, infrastruktur, dan bahkan dividen sosial langsung bagi seluruh warga negara, sehingga menciptakan kemakmuran lintas generasi (intergenerational equity).
Inti Argumen: Konsep ini adalah tentang transformasi aset: mengubah SDA yang terbatas (finite) dan rentan terhadap fluktuasi harga komoditas menjadi portofolio keuangan yang terdiversifikasi, likuid, dan dapat berkembang (infinite), sehingga nilai yang terambil dari bumi Indonesia hari ini tidak habis, tetapi terkonversi menjadi aset finansial yang terus bekerja untuk anak cucu.
Nama Sebutan Baru dengan Analisis Ekonomi:
“Gaya Betawi: SWF Berkolateral untuk Kemakmuran Turun-Temurun”
Penjelasan Akademis atas Sebutan “Gaya Betawi”:
Frasa “Betawi punye gaye” justru mengandung wisdom ekonomi yang dalam dan relevan secara konseptual, meskipun perlu dirumuskan dalam terminologi yang tepat. Filosofi “cari duit dari tanah objekan atau warisan, asal jangan dijual, agar selalu jaya” adalah analogi yang brilian untuk menjelaskan konsep Sovereign Wealth Fund (SWF) berbasis SDA.
- “Tanah Objekan/Warisan” sebagai Analogi Sumber Daya Alam: SDA (minyak, gas, mineral) adalah “warisan” atau “tanah” yang dimiliki bersama oleh seluruh bangsa Indonesia. Ini adalah endowment atau modal awal (capital stock) yang harus dikelola dengan bijak.
- “Cari Duit” (Bukan “Jual”) sebagai Analogi untuk Resource-Backed Financing: Masyarakat Betawi tradisional memahami nilai strategis “tanah”. Mereka tidak menjual aset produktifnya (finite asset). Sebaliknya, mereka meminjamkan atau mengobjekkan tanahnya untuk mendapatkan aliran pendapatan (cash flow) yang berulang, sementara kepemilikan asetnya tetap utuh. Ini persis seperti konsep “resource-backed financing” dalam resep Soros: Negara tidak menjual SDA-nya secara mentah. Negara menggunakan SDA sebagai kolateral untuk mendapatkan modal tunai (duit) hari ini, sementara kepemilikan dan hak pengelolaan SDA tetap pada negara.
- “Agar Selalu Jaya” sebagai Tujuan SWF: Uang yang didapatkan dari “ngobjekin” SDA tersebut tidak dihabiskan, melainkan diinvestasikan kembali (seperti membangun gedung untuk disewakan dalam analogi tanah). Hasil dari investasi inilah (sewa gedung, return saham, obligasi) yang menjadi sumber kemakmuran yang berkelanjutan (sustainable prosperity), membuat bangsa ini “selalu jaya” dari generasi ke generasi.
Oleh karena itu, “Gaya Betawi” bukan sekadar gaya, melainkan sebuah strategi preservasi kekayaan dan penciptaan kemakmaran berkelanjutan yang sangat canggih. Ini adalah local wisdom yang selaras dengan prinsip-prinsip keuangan negara modern yang paling visioner. Konsep Soros, pada hakikatnya, adalah memformalisasikan “Gaya Betawi” ini dalam skala makroekonomi nasional dengan instrumen-instrumen keuangan global yang mutakhir.
Indonesia tidak memerlukan bailout. Indonesia memerlukan build-out. Negara ini duduk di atas gunung emas, nikel, tembaga, batubara, sawit, dan kekayaan laut. Masalahnya adalah, kekayaan ini sering dijual dalam bentuk raw commodity, yang nilai tambahnya dinikmati negara lain.
Skema penyelamatan yang sesungguhnya adalah dengan menghentikan ekspor bahan mentah dan memaksimalkan nilai tambahnya di dalam negeri.
Ini bukan nasionalisme buta, ini kapitalisme yang cerdas.
Blueprint untuk Pertumbuhan 10% dan APBN Seimbang:
1. Bentuk Indonesian Resource-Backed Sovereign Wealth Fund (IRB-SWF):
· Modal Awal: Gunakan sebagian dari penerimaan komoditas (pajak, royalti) dan juga skema syariah-based financing (menerbitkan Sukuk yang di-back oleh nilai komoditas di perut bumi). Target: USD 100-200 Miliar dalam 5 tahun.
· Tujuan: Bukan untuk menstabilkan mata uang, tetapi untuk berinvestasi pada industrialisasi dan sumber daya manusia.
2. Alokasi Dana SWF & Simulasi Dampak: Dana SWF ini harus diarahkan untuk membangun ekosistem, bukan menyalurkan kredit.
Sektor Target Alokasi dari SWF Simulasi Dampak & Statistik Target
#1. Hilirisasi Komoditas 40% Bangun pabrik pengolahan nikel, smelter tembaga, pabrik biodiesel, industri petrokimia dari sawit. Simulasi: Ekspor nikel mentah (USD 20.000/ton) vs Ferronickel (USD 30.000/ton) vs Stainless Steel (USD 2.500/ton). Peningkatan nilai ekspor minimal 300%. Menciptakan 2-3 juta jobs baru di sektor manufaktur padat karya.
#2. Infrastruktur Konektivitas 25% Bangun pelabuhan khusus, listrik (dari energi baru), dan jalan logistik dari kawasan industri ke pelabuhan. Target: Turunkan biaya logistik Indonesia dari ~23% dari GDP menjadi 15% dalam 7 tahun.
#3. Ultra-Micro Financing 20% SKIP THE BANKS. Danai platform fintech atau BUMDes yang memberikan pinjaman langsung ke petani, nelayan, pengrajin dengan bunga 0-3%. Simulasi: Dengan Rp 40 T, danasi 4 juta UMKM dengan modal Rp 10 juta masing-masing. Multiplier effect untuk ekonomi pedesaan sangat besar.
#4. Fund-of-Funds untuk Teknologi 15% Investasi pada Venture Capital yang fokus pada agritech, edutech, dan healthtech. Target: Menciptakan 5 “unicorn” baru di sektor produktif dalam 10 tahun.
3. Simulasi Makro-Ekonomi:
· Pertumbuhan GDP 10%: Dampak investasi masif di sektor riil (hilirisasi + infrastruktur) akan memacu permintaan domestik, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan ekspor bernilai tinggi. Sektor manufaktur akan tumbuh di atas 12% per tahun.
· APBN Seimbang: SWF yang dikelola profesional akan memberikan return investasi. Asumsi return konservatif: 7-8% per tahun. Simulasi: SWF senilai USD 150 Miliar (Rp 2250 T) akan memberikan return Rp 157 T/tahun. Return ini bisa masuk ke kas negara untuk membiayai pendidikan dan kesehatan, mengurangi beban APBN.
· Neraca Perdagangan & Kurs: Ekspor produk olahan yang bernilai tinggi akan memperkuat neraca perdagangan dan menjadi fondasi yang kuat untuk nilai Rupiah, mengurangi kerentanan terhadap gejolak global.
Kesimpulan:
Pak Purbaya, hentikan skema “kencing berlari” itu. Itu adalah resep untuk bencana moral hazard dan inefisiensi.
Indonesia harus berani bermain dengan kartunya yang terbaik: Sumber Daya Alam. Kelola kekayaan itu dengan cara yang cerdas, transparan, dan berorientasi pada nilai tambah tertinggi. Keluarkan uang negara bukan untuk menyuap sistem perbankan yang sudah gemuk, tetapi untuk membangun pabrik, pelabuhan, dan memberikan modal langsung kepada para pahlawan ekonomi sejati: rakyat kecil (Kita semua adalah rakyat kecil di dalam sistem ekonomi kolossal sebuah negara) yang produktif.
David Darmawan, Ketum Partai OJOL (Orang Jenius dan Luar Biasa).
Dengan demikian, 10% pertumbuhan bukanlah mimpi. Itu adalah sebuah pilihan kebijakan. Pilih untuk membangun, bukan untuk membailout.