Delapan Puluh Tahun Dijajah oleh Bangsanya Sendiri: Sebuah Pembantaian Hak-Hak yang Terstruktur

Oleh: David Darmawan, pewarta warga negara Kesatuan Republik Indonesia

JAKARTA – Delapan puluh tahun. Delapan puluh kali sang saka berkibar, dikibarkan oleh tangan-tangan yang lelah oleh beban hidup yang kian menjadi. Kita teriak ‘merdeka’ dengan suara yang parau, terdengar hampa di antara gemerincing uang dan lengkingan mobil mewah para pejabat.

Apa artinya kata itu ketika kenyataan menjerit lebih keras? Apakah kita merdeka, atau hanya sekadar pindah majikan? Majikan baru yang berkulit sawo matang, berbicara dalam bahasa kita, tetapi lebih rakus dan kejam dari yang sebelumnya.

Mereka duduk di kursi empuk, di gedung-gedung megah yang dibangun dari keringat dan air mata kita. Mereka pamer kekuasaan, bergelimang kemewahan yang dihisap dari tulang punggung rakyat. Ini bukan lagi penjajahan. Ini pembantaian terstruktur.

@millenialzkece

Gaji DPR Tembus 100/Bulan, Asik Joget Di Gedung DPR RI Diatas Penderitaan Rakyat

♬ suara asli – Bang Milenz – Bang Milenz

Data yang Menggugurkan Air Mata: Bukti-Bukti Pengkhianatan

Ini bukan amarah tanpa dasar. Ini adalah ledakan yang disulut oleh fakta-fakta yang tak terbantahkan.

· Pajak: Mesin Penghisap yang Tak Kenal Lelah. Penerimaan pajak melesat bak meteor. Rp 1.780,3 triliun pada 2023 (Kemenkeu), naik hampir dua kali lipat dalam sepuluh tahun. Setiap rupiahnya adalah setetes keringat yang dipersembahkan untuk ‘pembangunan’. Tanya pada kami, rakyat jelata, pembangunan apa? Yang kami lihat, jalan-jalan kami masih berlubang, sementara jalan tol mulus harganya selangit. BPJS kami naik, tetapi antrian dan fasilitasnya justru membuat kami sakit lebih parah.
· Korupsi: Darah Segar bagi Para Vampir. Mereka bukan koruptor. Mereka adalah vampir yang menyedot darah kehidupan bangsa. Menurut Transparency International, indeks persepsi korupsi kita stagnan di angka 34 (2023), duduk di peringkat 115 dunia. Indonesian Corruption Watch (ICW) mencatat kerugian negara Rp 21,89 triliun dari 443 kasus korupsi sepanjang 2023. Itu bukan angka. Itu adalah ribuan sekolah yang tidak dibangun, jutaan paket makanan untuk anak stunting yang menguap, ratusan kilometer jalan yang batal diaspal. Uang itu masuk ke dalam kantung mereka, untuk membeli mobil mewah baru untuk istri mudanya, untuk liburan ke Eropa, untuk menambah koleksi jam tangan yang harganya setara dengan hidup ribuan orang.
· Jurang yang Menganga: Si Kaya Makin Tajir, Si Miskin Tersungkur. Negara ini kaya raya. Tapi kekayaannya hanya mengalir ke satu ceruk. Kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 100 juta orang termiskin (Oxfam). Ini adalah sebuah kejahatan ekonomi. Kelas menengah runtuh, terjepit oleh pajak dan inflasi, terlempar kembali ke kubangan kemelaratan. Yang miskin semakin miskin, terperangkap dalam siklus pembodohan terstruktur agar tetap mudah diatur, tetap menjadi angka dalam statistik pemilu.

Narasi Derita: Jerit yang Dibungkam Pesta Pora Mereka

Kemerdekaan? Tanyakan pada buruh pabrik yang upahnya tak cukup untuk menyewa sebuah bilik di pinggiran kota, sementara bosnya membangun vila kelima. Tanyakan pada petani yang tanahnya direbut untuk proyek mercusuar, diganti dengan ganti rugi yang tak seberapa, sementara pejabatnya mendapat fee miliaran. Tanyakan pada kami, rakyat kecil, yang setiap hari disuguhi tayangan televisi tentang pesta pernikahan mewah anak pejabat, sementara kami bingung membayar SPP anak sendiri.

Kita sudah serahkan segalanya. Suara kita. Keringat kita. Pajak kita. Tapi yang kita dapat? Penjajahan gaya baru. Penjajahan oleh para wakil rakyat yang menjadi tuan bagi rakyatnya sendiri. Penjajahan oleh sistem yang dirancang untuk melindungi mereka yang berkuasa dan menggilas yang lemah.

KKN bukan penyakit. Ia adalah sistem pemerintahan itu sendiri. Mereka saling jaga, saling untung, saling diam. Hukum hanya tajam ke bawah, tumpul ke atas. Penjara hanya untuk pencuri ayam, sementara pencuri uang rakyat bisa berjalan gagah, tersenyum lebar di depan kamera.

Kesadaran Nasional? Itu Bohong Besar Tanpa Sistem yang Tangguh!

Mereka berkoar tentang kesadaran nasional, tentang gotong royong, tentang persatuan. Itu semua adalah mantra untuk membius kita. Untuk membuat kita rela berkorban lagi dan lagi, sementara mereka menggarong hingga ke tulang sumsum kita.

Kesadaran nasional tidak akan mengembalikan uang yang dikorupsi dari proyek bansos. Kesadaran nasional tidak akan menurunkan harga sembako. Kesadaran nasional tidak akan menciptakan peradilan yang adil.

Yang kita butuhkan bukan sekadar kesadaran. Kita butuh sistem yang membabi buta. Sistem yang memangkas habis ruang untuk korupsi. Sistem perpajakan yang adil, dimana konglomerat tidak bisa main-main. Sistem peradilan yang menghukum tanpa pandang bulu. Sistem politik yang memangkas nafsu berkuasa dengan check and balance yang nyata, bukan sekadar basa-basi demokrasi.

Tanpa sistem itu, kita hanya akan terus berputar dalam siklus ini: menderita, berteriak, lalu dibius kembali dengan upacara dan slogan-sogan usang.

Delapan Puluh Tahun: Sebuah Nisan atau Kebangkitan?

Di usia 80 tahun, Indonesia bukan lagi remaja yang bersemangat. Ia sudah dewasa, tetapi sakit parah, dilumpuhkan oleh kanker yang menggerogoti dari dalam.

Chairil Anwar mungkin akan menulis lagi hari ini:

“Kalau sampai waktuku, ‘ku mau tak seorang ‘kan merayu”

Tapi bukan untuk mati. Tapi untuk memberontak. Untuk menolak mati dicekik oleh bangsanya sendiri. Untuk mengganti para vampir itu dengan darah segar, dengan pemimpin yang masih memiliki malu dan hati nurani.

Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat tidak lagi takut pada pemerintahnya. Ketika pemerintah gemetar menghadapi rakyatnya. Ketika setiap rupiah pajak dapat dipertanggungjawabkan hingga ke sen-nya. Ketika pengadilan menjadi rumah bagi kebenaran, bukan bagi uang dan kuasa.

Sampai saat itu tiba, jangan bicara tentang kemerdekaan. Itu hanya kata-kata kosong. Kita bukan bangsa merdeka. Kita adalah bangsa budak di negeri sendiri, dan tuannya adalah para pejabat dan wakil rakyat yang kita pilih sendiri.

Mereka merayakan kemerdekaan dengan pesta pora. Kita merayakannya dengan mengumpulkan receh untuk besok makan. Itulah wajah Indonesia di usia ke-80. Sebuah tragedi yang sangat memalukan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *