“Ujian Identitas Betawi: Pertahankan Hak Putra Daerah di Panggung Politik Bekasi!”

Di tengah dinamika politik yang semakin meluas, masyarakat Betawi di kota Bekasi dihadapkan pada sebuah dilema yang menentukan: apakah akan membiarkan arus besar politik nasional mengikis kekhasan lokal atau berdiri teguh mempertahankan akar budaya mereka. Penunjukan Kaesang Pangarep sebagai Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) telah membuka dialog mengenai potensi dan tantangan yang dihadapi oleh putra daerah dalam kancah politik yang semakin kompetitif.

Kaesang, dengan latar belakang dan jaringan nasional yang luas, menawarkan visi pembaharuan dan pengembangan. Namun, bagi banyak warga Betawi, ini juga berarti menguji sejauh mana kita dapat mempertahankan kearifan lokal di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi politik.

Sejak Joko Widodo terpilih sebagai presiden pada tahun 2014, telah terjadi beberapa pemilihan kepala daerah (Pilkada) di Kota Bekasi. Berikut adalah hasil Pilkada Bekasi sejak itu:

  1. Pilkada Bekasi 2018:
    • Pasangan Rahmat Effendi dan Tri Adhianto Tjahyono (petahana), yang diusung oleh koalisi beberapa partai seperti Golkar, PAN, PPP, Hanura, PKB, Nasdem, PDI-P, dan PKPI, berhasil memenangkan pemilihan dengan perolehan 697.634 suara.
    • Pasangan penantang, Nur Suprianto dan Adhy Firdaus Saady, yang diusung oleh PKS dan Gerindra, mendapat 335.900 suara.
    • Meskipun ada gugatan ke Mahkamah Konstitusi terkait hasil pemilihan ini, Rahmat Effendi dan Tri Adhianto akhirnya ditetapkan sebagai pemenang​ (KOMPAS.com)​.

Wali Kota Bekasi selama periode 2012-2022, Rahmat Effendi dari Partai Golkar, menunjukkan bagaimana kekuatan politik lokal bisa berakar kuat dalam masyarakat. Kepemimpinannya mencerminkan kecenderungan pemilih untuk memilih pemimpin yang memiliki kedekatan budaya dan historis dengan daerahnya. Namun, dengan tidak lagi menjabat, dan dengan naiknya tokoh-tokoh baru seperti Kaesang, pertanyaan besar yang muncul adalah: Bagaimana masyarakat Betawi dapat memastikan bahwa pemimpin baru akan menghormati dan mengintegrasikan nilai-nilai lokal?

Diskusi ini bukan hanya relevan bagi Bekasi tetapi juga menjadi cerminan bagi wilayah Jabodetabekjur lainnya, di mana integrasi budaya dan politik menjadi sangat krusial. Mempertahankan kearifan lokal bukan hanya tentang memilih pemimpin yang berasal dari daerah tersebut, tetapi juga tentang bagaimana pemimpin tersebut dapat menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kebijakan dan pengembangan daerah.

Ini adalah saatnya bagi masyarakat Betawi untuk lebih aktif berpartisipasi dalam politik lokal. Melalui pendidikan politik, diskusi terbuka, dan kegiatan komunitas, masyarakat dapat lebih memahami dan mempengaruhi arah politik kota mereka. Di sisi lain, para pemimpin seperti Kaesang harus menunjukkan komitmen mereka pada nilai-nilai lokal dengan cara yang konkret dan menghormati kekhasan budaya yang telah ada lama sebelum mereka tiba.

Untuk Kaesang dan pemimpin muda lainnya, ini adalah kesempatan untuk membuktikan bahwa modernisasi dan keberagaman dapat berjalan seiring dengan pelestarian budaya. Bagi masyarakat Betawi, ini adalah momen untuk memastikan bahwa suara mereka tetap relevan dan berpengaruh dalam menentukan masa depan politik lokal yang akan terus mengakui dan merayakan identitas mereka.

Pertanyaannya tetap: Akankah Bekasi dan kota-kota lain di Indonesia berhasil menemukan keseimbangan antara inovasi dan tradisi? Atau, akankah kita menyaksikan pengikisan identitas lokal yang berharga? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan ini akan menentukan bentuk kebijakan, budaya, dan identitas di masa yang akan datang. Ini bukan hanya ujian bagi kaum Betawi, tetapi juga bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam memelihara keberagaman di era globalisasi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *